Dari Benteng Tahula ke Benteng Torre

Opini56 Dilihat
banner 468x60

INSERTMALUT.com – 24 Mei 2024 kali ke tiga saya datang ke Tidore, tempat yang selalu membuat saya kagum sampai hari ini.Tidore, jika bisa dibilang adalah tempat pulang paling nyaman. Yah, nyaman karena tenang di sana. Anak-anak ombak masih bermain dengan batu karang.Perahu nelayan masih saja membelah gelombang dengan semangat.Dan pancing masih saja turun ke dasar mencari ikan.Biru laut hampir tak bisa dibedakan dengan biru langit.Indah.Pokoknya indah sekali.

Waktu menunjukan pukul satu, menandakan saya segera pulang untuk bersiap menuju ke Tidore.Saya diajak sahabat baik saya, Dede sapaan akrabnya. Kami berdua bertemu di depan kampus dan berjalan pulang. Kami berdua janjian akan ke Tidore bersama, jadi selepas kuliah, kami langsung bergegas. Awalnya Dede ingin balik ke rumahnya di Ngade, namun dia membatalnkannya dan memilih mengikuti saya ke kosan katanya biar kita sama-sama, mengingat dia juga telah minta izin tak mampir di rumah.

banner 336x280

Selesai bersiap, akhirnya kami bergegas menuju pangkalan. Di sana, kami menunggu angkot menuju Bastiong sekitar lima menit. Sembari menunggu, Dede memberi tahu bahwa di sana salah satu sahabatnya telah menunggu kedatangan kami. Mendengar itu, saya sangat penasaran siapa orang itu.Kata Dede dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas, tepatnya kelas dua.Saya sedikit penasaran dengan anak ini, karena kata Dede dia sering menulis puisi dan ingin menerbitnya.Kebetulan saya dipercayakan menjadi editornya.Atas pengalaman dua kali menerbitkan buku, mungkin dari situlah saya dipercayakan.

Setiba kami di pelabuhan, riuh ombak menyambut kedatangan kami.Saya selalu senang saat berada di dekat laut.Bukan apa-apa, saya suka melihat ikan yang bermain-main di dasarlaut.Kapal kayu Ternate Tidore selalu penuh, begitu juga sebaliknya. Saya menyempatkan mengambil gambar seorang buru yang sedang bongkar muat barang dari salah satu kapal yang baru saja sandar di pelabuhan. Aroma air laut tercium begitu segar, mungkin pertanda laut sedang bahagia sehingga menyempatkan menyapa kami. Setelah motor-motor telah dinaikan, akhirnya kapal mulai meninggalkan dermaga.
“Doni, sadiki di sana tong jalan-jalan e.” Ajak Dede.
“Kalo kita, mana mantap.”

Perahu mulai membelah gelombang.Angin laut bertiup cukup kencang membuat kapal kami sedikit bergoyang.Walau di tengah kesibukan mencari keseimbangan, ada seorang wanita berkaca mata hitam sedang fokus mengambil video.Tentang Ternate dan kabutnya, dan Tidore denga mendungnya.Saya khawatir saat masih di perjalanan turun hujan.Bukan takut basah, tapi ada sebuah perangkat keras yang sedang saya bawa. Dede menyakinkan bahwa tidak akan hujan.
“Tenang, tara akan ujang,” tutur Dede kala itu.

“Siap. Sudah bisa jadi Mbak Rara.Hehehe.”Saya bercanda.
“Ce ngana ini.”
Kamipun terkekeh bersama.
Namanya laut tentunya ada gelombang.Dan sore itu, gelombang menemani perjalan kami.Nampak sepanjang perjalanan, sampah plastik bertebaran di mana-mana.Melihat itu, saya teringat dengan sebuah artikel yang pernah saya baca di Kompas tentang ikan yang memakan sampah.Saya berpikir sore itu saat mendung di langit Tidore masih nyata, apakah laut kami dan ikan kami sudah tidak terlepas dari plastik?Saya juga kembali teringat dengan kasus beberapa tahun silam tentang beras plastik.Pokoknya serba plastik. Sangat menyayangkan ada beberapa penumpang membuang bungkusan makan ke laut.Melihat itu, saya diam saja karena tak berani menegur.

Sampah dan ombak adalah kawan baik.Dulu laut tak mengenal siapa itu plastik, tapi sekarang sudah menjadi sahabat baik.Bahkan hampir di seluruh laut Indonesia, kisah laut dan plastik sudah menjadi cerita lama yang masih dibicarakan dari generasi ke generasi.Bukan cerita baru lagi persahabatan mereka berdua ini.Laut tempat berenangnya ikan-ikan, sekarang tidak lagi, sudah berganti dengan kumpulan-kumpulan benda keras maupun lunak yang usianya sangat panjang.Aktivis lingkungan selalu berteriak tentang pencemaran lingkungan, tapi puntunnya masih dibuang ke laut.Yah, seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, laut dan plastik itu sahabat.

Tak terasa, perahu telah sandar di Pelabuhan Rom Tidore. Mata seakan tak penah bosan melihat sebuah pulau yang ada di depan. Pulau Maitara, pulau mungil yang selalu berhasil merayu orang asing. Tiket dari Ternate ke Tidore sebesar sepuluh ribuh rupiah.Seletah membayarnya, kami langsung menuju terminal.Tak butuh waktu lama, angkot sudah berjalanan meninggalkan terminal.Lagu-lagu togal diputar di sepanjang perjalanan kami.Di dalam angkot, kami hanya diam, semua fokus dengan pikiran masing-masing.
Di sepajang perjalanan, mata selalu tergoda dengan emas hitam yang dijemur oleh emak-emak.Wanginya sampai menyusup ke dalam angkot.Waktu itu musim cengkeh, jadi para petani sedang menjemur hasil panen kemarin.Jika di sini cengkeh, maka di kampung saya kopra. Kopra paling sering didengar jika ada yang bertanya tentang hasil kebun petani di sana.
Perjalanan kami ke Soasio memakan waktu tiga puluh menit.Setelah tiga puluh menit perjalanan, akhirnya kami tiba di tempat tujuan.Kami tak banyak bicara saat memasuki rumah.Kami memutuskan untuk istirahat, mengingat kami berdua cukup kelelahan menahan kantuk sepanjang perjalanan.

Masih saja tentang nyayian ombak di sore hari yang mengantar tidur kami sore itu.Ternyata tepat di belakang rumahnya Dede sangat dekat dengan laut.Saya hanya tidur sebentar karena suara laut selalu menggoda.Pintu samping dibuka. Terlihat pulau Halmahera di sana, pulau terbesar yang ada di Maluku utara. Saya duduk di sana sampai matahari bersama sinarnya menghilang entah ke mana. Saya duduk di sana menyaksikan seorang pemancing sedang fokus menarik pancingnya. Anak-anak sedang mandi, dan seorang nelayan sedang melempar pukat. Pemandangan yang sudah jarang dijumpai oleh orang lain. Walau lahir di pedalaman, tapi kecintaan terhadap laut tidak usah diragukan.Sebelum melihat bagaimana rupa laut yang sering dicarakan, saya hanya membayangkan rupanya dengan melihat gambar di sebuah kalender lusuh.

“Dede, benteng apa itu?” tanya saya pagi-pagi saat kami duduk di depan.
“Itu Benteng Tahula. Kalo mau nae, sadiki tong nae.”Ajak Dede.
“Boleh-boleh.”
“Tapi sore baru, biar lebe bagus.”
“Ok, siap,” balas saya singkat. (*)

Oleh: Apdoni Tukang
(Mahasiswa Sastra Indonesia Unkhair)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *