INSERTMALUT.com – Bahasa merupakan alat atau instrumen komunikasi dalam berinteraksi. Bahasa menjadi titik vital yang urgen bagi manusia, sebab melalui bahasa kita dapat menyampaikan isi pikiran, perasaan, dan informasi kepada orang lain. Bahasa yang ada di negara Indonesia memiliki beragam bahasa, salah satunya bahasa daerah Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Desa Wayamli.
Desa ini adalah desa yang memiliki beragam penduduk transmigrasi di dalamnya, ada dari daerah Buton, Bugis, Jawa, dan masih banyak lagi. Namun dengan bertambahnya penduduk yang datang di desa Wayamli, ada satu masalah serius yang tidak bisa dihindari oleh generasinya. Yaitu, bahasa daerah Wayamli itu sendiri yang mulai mengalami pergeseran. Namun sampai saat ini sebagian besar tidak ada yang mampu menjawab persoalan ini sehingga nampak jelas bahwa bahasa daerah Wayamli akan mengalami kepunahan. Apalagi bahasa daerah juga adalah identitas yang tidak bisa kita lepas pisahkan dengan tingkah laku dalam keseharian.
Daerah Wayamli yang dikenal dengan suku Maba ini sudah cenderung menggunakan bahasa melayu Ternate dalam keseharian, bisa kita tilik bahwa ketika berdialog dalam ranah keluarga tidak ada pengucapan dalam bahasa daerah, justru malah sebaliknya. Namun masih ada beberapa orang tua yang menjadi penutur bahasa Wayamli, mereka masih konsisten dengan menggunakan bahasa Wayamli dalam berdialog di dalam perbincangan. Sehingga walau generasi muda dewasa ini tidak pandai dalam pengucapan bahasa Wayamli, masih bisa dipahami namun ketika menjawab kaku dalam pengucapan.
Saya coba mengambil beberapa referensi untuk dijadikan landasan dalam narasi ini. Nah penyebab bergesernya suatu bahasa daerah menurut Eka Guna Yasa, Managing Director BASAbali Wiki menjelaskan ada tiga faktor penyebab kepunahan besar bahasa daerah.
Yang pertama adalah penutur bahasa aslinya semakin hari semakin sedikit karena proses migrasi dan mobilitas yang tinggi. Namun yang menarik, generasi muda ikut ambil peran dari punahnya bahasa daerah. Mengapa?
Faktor kedua “Generasi muda dinilai tidak merasa bermartabat ketika menggunakan bahasa daerahnya dalam proses berkomunikasi. Karena dinilai kurang gaul dan gengsi sehingga cepat atau lambat pasti akann hilang”
Sedangkan faktor ketiga terjadi karena terjadi kawin campur antar etnis.
Sehingga generasi selanjutnya dinilai bukan putra ‘asli’ daerah yang menyebabkan tidak ada pewaris bahasa.
Ada juga beberapa faktor lain yang juga menjadi pendukung atas bergesernya bahasa daerah. Salah satunya adalah pendidikan yang kurang mendukung untuk mengajarkan dan mempromosikan bahasa daerah. Pendidikan yang tidak melibatkan bahasa daerah dapat mengurangi minat generasi muda untuk mempelajarinya. Faktor globalisasi juga menjadi penentu atas bergesenya bahasa daerah. Dalam era globalisasi, bahasa nasional dan bahasa asing sering kali lebih diminati dalam komunikasi sehari-hari, sehingga bahasa daerah menjadi terpinggirkan atau terisolasi. Juga media dan teknologi yang saat ini sedang marak-maraknya mendominasi masa. Apalagi kita berada pada era 4.0 menuju era 5.0 yang kita sendiri tidak bisa pungkiri bahwa kita tidak bisa terlepas pisahkan oleh yang namanya gadget atau teknologi itu sendiri.
Faktor terakhir yang menjadi acuan bahwa ini harus kembali pada diri masing-masing, sebab minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan bahasa daerah sebagai bagian dari warisan budaya.
Terus apa solusinya untuk bagaimana melestarikan kembali bahasa daerah yang hampir punah, yang saat ini dialami langsung oleh daerah di desa Wayamli. Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang wajib dilindungi. Seperti yang dikutip dari laman kemdikbud.co.id, di antaranya banyak yang berstatus kritis, dan salah satunya bahasa daerah Wayamli, karena berkurangnya penutur dan hampir keseluruhan penuturnya berada di atas 40 tahunan.
Indikator pertama untuk melestarikan bahasa daerah adalah pendidikan. Metodenya adalah megintegrasikan bahasa daerah dalam sistem pendidikan formal dan informal, contohnya seperti menyelenggarakan kelas atau program bahasa daerah di sekolah-sekolah. Yang kedua adalah dokumentasi, membuat catatan tertulis dan rekaman video atau audio tentang bahasa daerah, termasuk buku, kamus, cerita rakyat, dan lagu-lagu tradisional. Hal ini dapat membantu menyimpan dan memperluas pengetahuan tentang bahasa daerah. Yang ketiga mengimplementasikan dialog menggunakan bahasa daerah sehari-hari, baik di rumah, komunitas, dan acara adat untuk menjaga keberlangsungan penggunaan dari generasi ke generasi. Dan yang ke-empat, kita harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial dan platform digital untuk mempromosikan dan memberikan ifnormasi tentang bahasa daerah kepada masyarakat luas. Agar apa? Agar bahasa, budaya, identitas jati diri suatu negri tetap terjaga dan tidak hilang.
Terus, apa sih dampak yang akan dirasakan oleh generasi muda ketika bahasa daerah Wayamli mengalami kepunahan?
Ada beberapa point yang menjadi acuan ketika bahasa daerah itu mengalami kepunahan.
Hilangnya identitas, bahasa daerah sering kali menjadi bagian integrral dari identitas suatu komunitas. Ketika bahasa daerah itu punah mereka akann merasa kehilangan jati diri mereka.
Kesulitan dalam pembelajaran, anak-anak yang tidak dapat belajar bahasa ibu mereka mungkin mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep dasar, yang dapat mempengaruhi prestasi akademis mereka. Semisal ketika kuliah dan masuk pada jurusan bahasa Indonesia, sastra Indonesia, contoh kecil ini yang bagi saya sangat signifikan.
Kehilangan pengetahuan tradisional, ada banyak pengetahuan dan tradisi yang disampaikan melalui bahasa daerah. Semisal (budi re bahasa, sopan re hormat, kamcait re may) kalau kita paham bahasa daerah Wayamli kita pasti paham narasi di atas, padahal dalam kalimat tersebut mengandung makna filosofi yang sangat mendalam.
Pengurangan keragaman budaya, makanya setiap bahasa membawa cara pandang dan nilai-nilai unik. Kepunahan bahasa daerah berkontribusi pada homogenisasi budaya di tingkat global.
Kehilangan pengetahuan lingkungan, banyak bahasa daerah mengandung istilah dan pengetahuan yang berkaitan dengan lingkungan lokal. Ketika bahasa mengalami kepunahan dapat mengakibatkan hilangnya pemahaman tentang ekosistem dan praktik berkelanjutan, juga pada sektor kreatif.
Ada satu pendapat dari Finta Mayona, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia UIN SUSKA RIAU, mengatakan bahwa, Kehilangan bahasa daerah berarti kehilangan cara unik kita dalam melihat dunia. Setiap bahasa membawa kosakata, idiom, dan ekspresi budaya yang khas. Bahasa daerah juga sering kali mengandung pengetahuan lokal yang berharga, dari cerita rakyat hingga kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun temurun. Jika bahasa-bahasa ini punah, kita tidak hanya kehilangan alat komunikasi, tetapi juga identitas budaya dan pengetahuan yang berharga.
“Menjaga Bahasa Sama Halnya Menjaga Diri. Sebab Ia Adalah Jati Diri”
Oleh : Samsir Difa