MEDIASEMUT.com – Kriminologi hijau, sebuah istilah yang kini akrab di telinga, telah menjadi bagian dari narasi sehari-hari masyarakat Indonesia. Hilirisasi, program unggulan pemerintah, digadang-gadang sebagai jalan menuju kesejahteraan dan peningkatan pendapatan, baik bagi negara maupun daerah. Namun, di balik janji manis tersebut, kita harus bertanya: apakah ini benar-benar untuk semua?
Di tengah hiruk-pikuk tambang dan pabrik, kita memasuki era industri yang berisiko tinggi, di mana harapan tergantung pada benang tipis. Jiwa terpenjara dalam rutinitas yang monoton, dan suara-suara yang semakin lantang justru tak terdengar. Sementara yang kaya semakin mengumpulkan harta, yang miskin terpuruk dalam kesengsaraan, bahkan yang sudah tak berjiwa serasa meronta-ronta, berusaha mengadu kepada Sang Pencipta.
Manusia, sebagai bagian dari alam, diamanahkan sebagai wakil Tuhan, sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 30. Namun, alih-alih menjadi khalifah yang bijak, banyak yang terjerat dalam keserakahan dan ambisi. Tindakan kriminal terhadap alam merenggut kehidupan, bahkan di pelosok yang jauh, membuat kita bertanya: di mana letak kemanusiaan kita?
Perjuangan pendahulu yang telah tiada adalah saksi bisu cita-cita kemerdekaan. Kini, sila kelima Pancasila seolah hanya mengarah pada mereka yang berkuasa, meninggalkan yang lemah dalam kegelapan. Di manakah keadilan bagi semua?
Maluku Utara kini dilanda konflik agraria yang tiada henti, sebuah tragedi yang menggerogoti jati diri dan kehidupan masyarakat. Pabrik dan perusahaan beroperasi masif, menjelma menjadi raksasa yang melahap tanah subur, mengubahnya menjadi lahan mati. Air yang dulunya jernih kini keruh, dan ikan-ikan yang berenang di dalamnya terkontaminasi limbah dari aktivitas yang diklaim untuk memakmurkan.
Birokrasi, seharusnya menjadi penjaga keadilan, kini dipenuhi kepentingan yang tak kolektif, menciptakan celah bagi mereka yang berkuasa untuk memperkaya diri. Dalam permainan devide et impera, kita yang sedarah diadu domba hingga berujung pada tumpah darah.
Sejarah yang seharusnya kita pelajari kini terbenam dalam keheningan, adat dan budaya yang kita banggakan tinggal kemasan tanpa isi. Maluku Utara, dengan tali historisnya sebagai Jaizirah Al Mulk—tanah para raja—seakan hanya diam pada kekuasaan.
Tidakkah cukup tanah adat dirampas paksa? Tidakkah cukup masyarakatnya menderita, terperangkap dalam siklus kesengsaraan yang tak berujung? Petani yang seharusnya menanam dengan penuh harapan kini terpaksa menanam di atas limbah, sementara nelayan mencari nafkah di lautan yang tak lagi bersahabat, memancing ikan beracun yang mengancam kesehatan mereka dan generasi mendatang.
Anak cucu kita, seharusnya tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan budaya dan pengetahuan, kini terancam oleh struktur pikir yang dirusak. Mereka dipaksa untuk beradaptasi dengan (*)
Oleh : Tirta Wowotubun
Mahasiswa Universitas Nuku












