Catatan Seorang Auditor: Refleksi Tentang Profesi dan Relasi Sosial

Opini476 Dilihat

INSERTMALUT,com – Seorang auditor memegang peran yang sangat strategis, namun sering berada dalam posisi yang serba salah di mata banyak pihak. Di satu sisi, auditor dipandang sebagai penjaga integritas dan keandalan informasi—sosok yang netral, profesional, dan teguh pada prinsip. Keberadaannya dibutuhkan untuk memastikan setiap proses berjalan transparan, akuntabel, dan sesuai dengan aturan. Ia dipercaya sebagai pengingat moral organisasi, seseorang yang berdiri di antara kepentingan dan kebenaran.

Namun di sisi lain, auditor sering kali dicurigai, dihindari, bahkan dianggap sebagai ancaman terhadap kenyamanan. Padahal, auditor sejatinya tidak datang untuk menuduh, melainkan untuk memastikan bahwa proses berjalan sebagaimana mestinya. Ia tidak berdiri di pihak siapa pun, kecuali pada kebenaran dan kepatuhan terhadap aturan. Sayangnya, dalam realitas dunia kerja yang serba transaksional, sikap netral itu justru sering disalahartikan. Ketegasan dianggap sebagai sikap keras, objektivitas dianggap kurang empati, dan integritas kadang membuat seseorang tampak menjaga jarak.

Relasi Bersyarat di Dunia Audit

Dunia audit menuntut seorang auditor untuk selalu bersikap objektif dan profesional. Namun sayangnya, tidak semua orang memandang profesi ini dengan cara yang sama. Di mata sebagian pihak, auditor sering dianggap sebagai “pengganggu kenyamanan” atau “pengawas yang merepotkan.” Kehadiran auditor kerap menimbulkan kecemasan, karena identik dengan pemeriksaan, koreksi, atau temuan kesalahan.

Namun menariknya, pandangan itu bisa berubah seketika ketika mereka membutuhkan sesuatu dari auditor—entah penjelasan, bukti pendukung, atau bahkan bantuan untuk menunjukkan bahwa mereka telah patuh terhadap peraturan dalam pemeriksaan. Pada saat-saat seperti itu, auditor tiba-tiba menjadi “teman baik” yang dihormati dan dihargai. Tetapi begitu peran itu selesai—ketika laporan telah ditandatangani, atau hasil audit tidak sesuai harapan—perlakuan hangat itu sering kali menguap begitu saja.

Dihormati Saat Diperlukan, Diabaikan Setelahnya

Banyak pihak masih melihat auditor bukan sebagai mitra strategis, melainkan sekadar alat untuk mencapai kepentingan tertentu—mulai dari lolos audit regulator, memperbaiki citra manajemen, hingga memenuhi prosedur rutin tahunan. Dalam budaya formalitas semacam ini, audit hanya dianggap ritual administratif, bukan sarana pembelajaran, perbaikan, dan pengelolaan terhadap risiko. Akibatnya, auditor kerap dihargai hanya saat dibutuhkan, dan dianggap mengganggu ketika tidak diperlukan. Padahal, nilai utama auditor bukan sekadar mencari kesalahan, melainkan memberikan rekomendasi perbaikan yang membawa nilai tambah bagi organisasi. Selama pemahaman ini belum berubah, auditor akan terus dipandang dengan kacamata “manfaat sesaat”.

Sunyi di Balik Profesionalisme

Bagi banyak auditor, pengalaman ini bisa menimbulkan kelelahan emosional. Merasa hanya dihargai ketika dibutuhkan, lalu diabaikan setelahnya, bisa memunculkan perasaan tidak dihargai, kesepian, bahkan sinisme terhadap pekerjaan itu sendiri.

Seringkali terlintas dalam benak pertanyaan-pertanyaan:

“Apakah profesi ini benar-benar dihargai?”

“Apakah integritas masih punya tempat di dunia yang serba transaksional ini?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah refleksi yang wajar. Namun di balik semua itu, penting untuk tetap berpegang pada prinsip bahwa pekerjaan auditor memiliki makna dan dampak, meski tidak selalu diakui secara langsung.

Profesionalisme di Tengah Dunia yang Serba Transaksional

Dalam menjalani profesi audit, ada beberapa hal penting yang perlu dipegang. Pertama, tetaplah profesional tanpa menjadi naif; dunia kerja penuh dinamika yang tidak ideal, sehingga perlakuan orang lain bisa berubah sesuai situasi, namun prinsip profesionalisme harus tetap terjaga. Kedua, auditor perlu membangun batasan dan ketegasan, sebab tidak semua bentuk kedekatan bersifat tulus—ada kalanya relasi personal justru menjebak. Ketiga, jangan mengejar popularitas, karena tugas utama auditor bukan untuk menyenangkan semua orang, melainkan memastikan keandalan informasi, pengendalian internal, dan kepatuhan aturan; dengan begitu, reputasi yang kredibel jauh lebih penting daripada sekadar disukai. Keempat, kembangkan komunikasi yang taktis, sebab auditor sering harus menyampaikan hal-hal yang tidak menyenangkan. Cara penyampaianlah yang menentukan: tegas namun sopan, objektif namun tetap manusiawi—itulah seni komunikasi seorang auditor.

Jangan Hanya Berguna, Tapi Juga Bernilai

Sebagai auditor, kita mungkin akan sering diperlakukan seperti “alat” oleh sebagian orang. Tapi itu tidak boleh membuat kehilangan arah atau semangat. Nilai auditor tidak ditentukan oleh bagaimana orang memperlakukan, tapi oleh bagaimana menjalankan peran dengan integritas.

Jangan biarkan penilaian orang yang sementara menentukan semangat dan profesionalisme yang seharusnya jangka panjang. Dunia mungkin tidak selalu menghargai integritas secara instan, tapi kepercayaan dan reputasi yang kita bangun sebagai auditor akan berbicara lebih lantang dari apa pun.

Lebih baik tidak dihargai karena jujur, daripada dihargai karena berpura-pura. Karena pada akhirnya, auditor sejati bukan hanya berguna—tetapi bernilai. (*)

Oleh: Muhammad Amin Iskandar Alam

(Pegawai Negeri Sipil-Auditor)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *