Ketika Rem Desa Tak Berfungsi: Dana Miliaran Rawan Disalahgunakan

Opini292 Dilihat

INSERTMALUT.com – Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah desa memperoleh dua sumber utama pendanaan: Dana Desa (DD) yang bersumber dari APBN dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang berasal dari APBD kabupaten/kota. Kedua sumber anggaran ini dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan desa, mengurangi kesenjangan antarwilayah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Selama satu dekade, program Dana Desa telah menelan anggaran sekitar Rp610 triliun. Pada tahun 2025, pemerintah kembali mengalokasikan Rp71 triliun untuk 75.260 desa, dengan prioritas pada penanganan kemiskinan ekstrem, ketahanan pangan, program adaptasi perubahan iklim, digitalisasi desa, dan peningkatan layanan dasar.

Dampak positifnya jelas terasa. Pembangunan infrastruktur desa meningkat mulai dari jalan tani, drainase, sarana olahraga, posyandu, TPQ, hingga PAUD. Sektor ekonomi pun tumbuh melalui berbagai program pemberdayaan seperti bantuan alat pertanian, sarana nelayan, peralatan usaha kecil, dan pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat desa.

Namun di balik keberhasilan itu, muncul bayang-bayang penyalahgunaan anggaran. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang 2015–2024 terdapat 851 kasus korupsi dana desa dengan 973 pelaku, dan lebih dari separuhnya adalah kepala desa.

Rem Desa yang Mulai Aus

Salah satu penyebab utama penyalahgunaan dana desa adalah pasifnya peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Padahal, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 55 secara tegas menyebutkan bahwa BPD memiliki tiga fungsi utama: membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta mengawasi kinerja kepala desa.

Ketiga fungsi ini menegaskan bahwa BPD memegang peran strategis dalam memastikan penyelenggaraan pemerintahan desa berjalan transparan, partisipatif, dan akuntabel sesuai prinsip good governance. BPD sejatinya adalah “mata dan telinga masyarakat desa”, sebagai lembaga perwakilan masyarakat, BPD harus memastikan bahwa seluruh kebijakan dan penggunaan anggaran berpihak pada masyarakat. BPD diharapkan pro aktif mengawasi program-program pemerintah desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban. Selain itu BPD di tuntut lebih peka mendengar suara masyarakat baik itu aspirasi, kebutuhan maupun keluhan masyarakat yang kemudian di sampaikan kepada pemerintah desa sebagai dasar dalam mengambil keputusan.

Dalam analogi sederhana, Ibarat sebuah kendaraan BPD adalah “rem”. Ketika rem tidak berfungsi, kendaraan akan kehilangan kendali dan menimbulkan kecelakaan—begitu pula pemerintahan desa tanpa pengawasan. Sayangnya, di banyak desa, BPD hanya menjadi pelengkap struktur, bukan pengawal transparansi. Banyak BPD yang diam terhadap penyimpangan, mulai dari proyek yang tidak sesuai spesifikasi, bantuan yang tidak tepat sasaran, hingga pembangunan fiktif yang anggarannya sudah cair.

Ketika Uang Rakyat Jadi Ladang Kepentingan

Modus penyalahgunaan dana desa beragam: mulai dari proyek fiktif, mark-up anggaran, manipulasi upah pekerja, hingga lemahnya sistem akuntabilitas di mana kepala desa mengelola dana tanpa melibatkan bendahara atau Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Kondisi ini membuka celah penyimpangan dan membuat pertanggungjawaban keuangan sulit dilakukan secara transparan.

BPD Aktif, Penyimpangan Kehilangan Panggung

Agar BPD dapat menjalankan fungsinya secara efektif, pembinaan dan penguatan kapasitas kelembagaan BPD perlu terus ditingkatkan. Pemerintah daerah melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) harus memberikan pelatihan berkala, bimbingan teknis, serta pendampingan intensif agar setiap anggota BPD memahami peraturan, prosedur, dan tanggung jawab.

Di sisi lain, Inspektorat Daerah dalam pelaksanaan audit Dana Desa seharusnya tidak hanya berinteraksi dengan pemerintah desa, tetapi juga melibatkan BPD. Pelibatan ini penting, baik saat pemeriksaan lapangan berlangsung maupun saat pembahasan hasil audit, agar BPD memahami secara langsung bagaimana Dana Desa dikelola dan apa saja temuan yang perlu diperbaiki.

Keterlibatan BPD bukan sekadar formalitas, melainkan langkah untuk menumbuhkan tanggung jawab dan kesadaran atas fungsi pengawasan yang diamanatkan undang-undang. Melalui proses audit, BPD dapat belajar menilai kinerja pemerintah desa, memahami laporan keuangan, serta mengawasi penggunaan anggaran.

Dengan BPD yang aktif dan terlatih, pengawasan desa tidak lagi bersifat simbolik, melainkan benar-benar menjadi kendali sosial masyarakat terhadap jalannya pemerintahan desa. Ketika BPD menjalankan fungsinya secara serius, berbagai bentuk penyimpangan dalam pengelolaan Dana Desa akan kehilangan panggungnya.

Dana Desa Harus Jadi Berkah, Bukan Musibah

Setiap rupiah dari Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) adalah amanah rakyat yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab dan integritas. Dana ini di harapkan sebagai napas pembangunan dan harapan masyarakat desa untuk hidup lebih sejahtera.

Pengelolaan anggaran wajib diawasi secara ketat agar kinerja pemerintah desa tetap berada pada jalur yang benar. Desa yang maju tidak hanya lahir dari kepala desa yang visioner, tetapi juga dari BPD yang berani, aktif, dan memahami fungsi pengawasannya.

Kolaborasi antara Pemerintah Desa dan BPD merupakan fondasi utama agar Dana Desa benar-benar menjadi berkah pembangunan, bukan sumber masalah. Ketika pengawasan berjalan, transparansi tumbuh, dan integritas dijaga, Dana Desa akan menjadi pondasi kemandirian dan kemajuan desa yang sesungguhnya. (*)

Oleh: Muhammad Amin Iskandar Alam (PNS – Auditor)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *