Politik, Pemimpin, dan Nasi Kuning

Opini71 Dilihat
banner 468x60

INSERMALUT.COM – Diskursus politik kita mesti diarahkan dari sekedar kalkulasi kepentingan kelompok jangka pendek ke kalkulasi nilai-nilai universal dan kebaikan bersama jangka panjang. Sesat fikir kita selama ini karena masih mengikuti pendapat yang mengasumsikan kekuasaan sebagai hakikat politik, lalu menempatkan kekuasaan sebagai satu-satunya tujuan berpolitik. Alih-alih menunaikan janji-janji politik sewaktu kampanye, seorang presiden/gubernur/bupati/walikota malah mengalami semacam “ekstasy kekuasaan”.

Tidak jarang kita menemukan fakta bahwa penguasa yang “mabuk kekuasaan” dapat menyebabkan terjadinya salah urus atau bahkan tak terurusnya sebuah daerah/kota/Negara. Hal ini sering kali penulis menyebutnya sebagai gejala “matinya politik”(the end of politic). Seraya teringat akan almarhum K.H. Zainuddin M.Z. ketika mengatakan; “pemilu di Indonesia lebih banyak memproduksi penguasa-penguasa, dan sedikit memproduksi pemimpin”. Seraya teringat K.H. Zainuddin M.Z. ketika mengatakan; “pemilu di Indonesia lebih banyak memproduksi penguasa-penguasa, dan sedikit memproduksi pemimpin.

banner 336x280

Sebab tidak semua penguasa adalah pemimpin, tapi pemimpin sudah pasti penguasa dengan kualifikasi amanah, visioner, transformatif, administrator, konsolidator, manejer, panglima, berwibawa, merakyat, bijaksana, jujur, adil, tidak dzalim dan kualitas-kualitas lainnya yang nyaris mendekati kualitas nabi. Ketika Ibrahim a.s dijanjikan Allah akan diangkat sebagai imam (baca; pemimpin) bagi seluruh umat manusia, nabi Ibrahim-pun bermohon kalau sekiranya anak keturunannya juga di angkat sebagai imam, Allah-pun berfirman “sesungguhnya janji-Ku ini tidak berlaku bagi mereka yang dzalim (lihat Q.S; Al-Baqarah;124)”. Allah mengabulkan doa nabi Ibrahim, dengan mengangkat sebagian keturunannya menjadi nabi. Pelajaran yang bisa diambil dari perjanjian antara Allah dan nabi Ibrahim yang terekam pada ayat di atas adalah bahwa mengangkat seorang pemimpin tidak semudah mencoblos dibilik suara yang kemudian jumlah perolehan suara itu dijadikan sumber legitimasi politik, apalagi jumlah suara yang telah dimanipulasi secara transaksional dan konfliktual dalam “pasar politik”, lalu dengan bangga kita berteriak “suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populy vok Dei). Hemat penulis, mengangkat seorang pemimpin itu adalah iradat/kehendak Allah (baca; hak prerogatif Allah). Kata “iradat” dalam bahasa Arab se-akar dengan kata “ridha” yang bisa berarti restu, jadi ketika Allah meridhoi atau merestui seseorang menjadi pemimpin, ini bisa dianggap sebagai “legitimasi dari langit” yang tidak bisa diganggu-gugat.

“Legitimasi dari langit” ini memiliki kadar keabsahan yang mutlak karena seseorang yang dikehendaki Allah menjadi pemimpin atau bukan hanya ditentukan dengan perkara dzalim atau tidak dzalim saja. Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 124 di atas secara tidak langsung memberi pendasaran etis pada praktek politik kita, sekaligus mengajak kita untuk tidak gampang dan terburu-buru menyematkan derajat kepemimpinan pada seseorang, bahkan sekalipun mungkin seseorang itu masih keturunan nabi, sebab “janji Allah (untuk mengangkat seorang imam/pemimpin) tidak berlaku bagi mereka yang dzalim”. Jika seorang penguasa cenderung dipilih bedasarkan sentiment primordial (suku, agama, ras), maka pemimpin itu terpilih karena sentiment moral (baik/tidak baik). Dari sini lantas kita mengerti bahwa yang dimaksud dengan etika politik bukan hanya pada soal kepantasan moral individu yang melibatkan baik itu Presiden, menteri, kepala daerah, anggota DPR dan lainnya. Terlalu naïf dan sederhana untuk mengatakan bahwa kasus narkoba dan pornoaksi yang melibatkan para politisi sebagai problem etika politik. Hemat penulis, etika politik lebih menekankan pada soal kewajiban dan tanggung jawab Negara terhadap warganya, dengan demikian seorang penguasa dianggap tidak etis jika lalai dari kewajiban dan tanggungjawab tersebut apalagi melakukan praktek-praktek kedzalimaan yang mencederai kehidupan kolektif.

Tentunya kita sadar bahwa kedzaliman dalam praktek politik kita, selalu tercermin pada ke-(tidak)-bijakan penguasa yang korup, otoriter, diktator, tiranik, memanipulasi kebijakan publik, melalaikan kewajiban dan tanggungjawab, sehingga menyebabkan terjadinya ke-tidak adilan pembangunan, ketimpangan sosial, disparitas wilayah, lalu hak-hak konstitusional rakyat (pendidikan, kesehatan, dll.) terabaikan. Dalam perspektif teologi politik, kedzaliman penguasa ini akan dipandang tidak sekedar menistakan agama tapi juga bahkan mendustakan agama. Quran Surah al-Ma’un ayat 1-6. sebagai basis teologi politik memberi interpretasi yang lebih luas bahwa penguasa bisa dianggap sebagai pendusta agama jika praktek kekuasaannya itu tidak memberi manfaat kesejahteraan dan keadilan sosial. Bukankah tidak menganjurkan memberi makan kepada fakir miskin pada teks ayat ke tiga Surah al’Ma’un tersebut sama pararelnya dengan ketidak pedulian penguasa kepada kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial ?; menistakan agama itu memang berbahaya, tapi jauh lebih berbahaya adalah mendustakan agama.

Berberapa kasus di negara-negara dengan indeks korupsi yang tinggi selalu berkorelasi dengan menurunnya tingkat kesejahteraan dan keadaban publik. Bahkan mengkonfirmasi kepada kita bahwa kedzaliman penguasa selalu menjadi prakondisi atas konflik vertikal antara rakyat dan elit penguasa atau konflik horizontal antara sesama rakyat itu sendiri. Pada prinsipnya, kita perlu terlebih dahulu mencurigai seseorang itu hanya sekedar penguasa saja (presiden/gubernur/bupati/walikota) sampai ia membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang sanggup mewujudkan kebaikan bersama (bonum komune).

Relasi kuasa antara pemimpin dan rakyat seumpama nasi kuning dan telur, saling mencintai antara pemimpin dan rakyatnya karena rasa saling memiliki (sens of belonging). Nasi kuning menyimbolkan rakyat, sedangkan telur yang bertahta di atasnya pada ilustrasi tumpeng menyimbolkan pemimpin, sebab nasi yang di luarnya kuning itu memiliki putih di dalamnya, sebaliknya telur yang di luarnya putih memiliki kuning di dalamnya, hal ini bermakna; dalam hati rakyat ada pemimpin mereka, dan dalam hati pemimpin ada rakyat-nya.

Oleh : Oely Alfathani

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *